Sebuah renungan untuk saya ketika ada pertanyaan itu saat saya bicara tentang pesantren
Pancasila bukan mati, tapi dibungkam.
Nilai-nilai yang dulu lahir dari keberanian spiritualSoekarno kini tereduksi jadi hafalan upacara dan jargon politik murahan.
Buku ini mengguncang kesadaran bangsa, yaitu membongkarbagaimana “Ketuhanan yang Berkebudayaan” diganti dengan “Ketuhanan yang MahaEsa”, mengapa revolusi yang dijanjikan Bung Karno berhenti di bibir, danbagaimana Pancasila sesungguhnya bukan ideologi, tapi kesadaran hidup yangbelum selesai diperjuangkan.
Dengan gaya reflektif dan tajam, penulis mengajak kitamenyalakan kembali api Pancasila yang bukan sebagai simbol, tapi sebagai lakuhidup bangsa yang sadar diri.
Inilah buku yang akan membuatmu mencintai Pancasiladengan cara yang baru, mencintai dengan keberanian, bukan kepatuhan.
“PANCASILA: Revolusi Tidak Pernah Selesai” bukan bukusejarah, tapi peringatan yang membangunkan kesadaran bangsa. Ia menggugat carakita beragama, bernegara, dan berpikir tentang kemerdekaan. Di balik setiapsila tersimpan pesan yang selama ini disembunyikan, bahwa Pancasila bukanideologi mati, melainkan laku hidup yang harus dihidupi. Buku ini tidakmengajakmu menghafal, tapi mempertanyakan, “apakah kita masih bangsa yangberjiwa merdeka, atau hanya rakyat yang hafal tanpa sadar?”
Materi ini merupakan kutipan yang memberikan tinjauan tentang buku spiritual berjudul "Laku Jiwo" karya Agung Webe. Buku ini disajikan sebagai "bom kesadaran" yang menantang dan berani meruntuhkan fondasi sistem keyakinan tradisional, termasuk konsep surga dan neraka, serta definisi konvensional tentang Tuhan dan agama. "Laku Jiwo" menolak pandangan bahwa hidup adalah ujian moral untuk mencapai pahala setelah mati, sebaliknya menyerukan fokus pada kehidupan di masa kini. Buku ini mendefinisikan ulang agama sejati sebagai laku hidup yang dialami secara internal, bukan sebagai seperangkat doktrin atau ritual yang mengatur manusia, bahkan mempertanyakan keberadaan jiwa atau diri abadi. Secara keseluruhan, kutipan tersebut menekankan bahwa "Laku Jiwo" adalah ajakan untuk menemukan kesadaran polos dan otentik tanpa perlu mencari atau berpegangan pada kepercayaan buta, menjadikannya berbahaya bagi industri spiritual dan sistem yang ada.
Perbedaan fundamental antara tidak mempercayai sebuah klaim dan meyakini kebalikannya. Penulis berargumen bahwa menolak klaim "Tuhan ada" karena ketiadaan bukti bukanlah pernyataan bahwa "Tuhan tidak ada," melainkan sikap skeptis yang menunggu bukti. Dijelaskan pula bahwa beban pembuktian berada pada pihak yang mengklaim, bukan pada pihak yang meragukan, dan ketidakpercayaan memungkinkan kebebasan berpikir serta membuka ruang untuk penemuan. Sikap ini tidak sama dengan permusuhan terhadap orang beriman, melainkan integritas intelektual untuk mengakui ketidaktahuan. Pada akhirnya, ini adalah posisi jujur yang tidak menutup kemungkinan, tetapi juga tidak memberikan kepastian tanpa bukti.
"Bedah Klaim", menjelajahi makna ungkapan "Siapa mengenal dirinya, mengenal Tuhannya", khususnya dalam konteks Laku Jiwo. Penulis berargumen bahwa pengalaman batin yang jernih dan lapang tidak boleh disalahartikan sebagai klaim teologis atau pembuktian bahwa "aku adalah Tuhan". Sebaliknya, ia menekankan pentingnya membedakan antara pengalaman pribadi dan pernyataan tentang realitas kosmis. Melalui Laku Jiwo, ia mengajak untuk membongkar ilusi tentang diri dan mendekati pengalaman spiritual dengan kejujuran serta tanpa perlu mengukuhkan ego. Tujuan utama adalah mengembangkan belas kasih dan kebaikan dalam tindakan sehari-hari, bukan mencari gelar rohani atau kebenaran mutlak, melainkan menerima hadir yang sederhana dan menjaga langkah tetap membumi.
Podcast ini menganalisis popularitas Tan Malaka yang meningkat, terutama di kalangan anak muda melalui Malaka Project di YouTube. Meskipun inisiatif ini berhasil membuat filsafat mudah diakses, ada ironi yang timbul dari ajaran inti Tan Malaka sendiri. Penulis berpendapat bahwa ajaran Madilog, yang mendorong pemikiran kritis dan penolakan dogma, kini berisiko menjadi dogma baru di mana perkataan Tan Malaka dikutip tanpa kritik. Artikel ini menyerukan agar pembaca terus berpikir secara mandiri dan berani mengkritisi, bahkan pemikiran Tan Malaka sendiri, mengingat tantangan modern yang berbeda dari masa Tan Malaka menulis karyanya
Kita membahas BAB 2 dari buku SOUL JOURNEY karya Agung Webe
Perjalanan di bumi adalah pelajaran bagi jiwa, dalam bentuk apapun, baik berupa kesenangan, kesedihan, kecelakaan, ataupun keberuntungan.
Materi podcast ini diambil dari buku SOUL JOURNEY BAB 1 dengan judul: Pikiranmu Bukanlah Jiwamu dan Jiwamu Bukanlah Pikiranmu
Video ini mengemukakan sebuah perspektif alternatif mengenai asal mula alam semesta, menolak teori Big Bang yang umum. Sebaliknya, penulis mengusulkan "Kesadaran Besar" atau "Big Awareness" sebagai titik awal segala sesuatu. Dijelaskan bahwa sebelum waktu, ruang, atau materi ada, terdapat momen kesadaran murni yang tanpa nama dan bentuk, yang kemudian mulai menyadari keberadaannya sendiri. Dari tindakan introspektif sunyi inilah muncul riak-riak yang membentuk waktu, ruang, dan segala realitas yang kita kenal. Penulis berargumen bahwa kesadaran bukanlah hasil dari materi, melainkan fondasi dasar yang memungkinkan keberadaan materi dan pengalaman.
Agung Webe menulis bahwa otak merupakan hasil dari evolusi miliaran tahun, bukan muncul secara instan. Awalnya, organisme sederhana memiliki reseptor dasar yang berkembang menjadi sistem saraf primitif pada makhluk multiseluler. Seiring waktu, sistem saraf ini berevolusi menjadi ganglia dan kemudian otak primitif yang mengoordinasikan gerakan dan pembelajaran. Otak mamalia menunjukkan fungsi sosial dan emosional yang lebih kompleks, dan pada primata, otak mulai menciptakan representasi internal dari dunia. Akhirnya, otak mencapai kesadaran diri, memungkinkannya untuk berefleksi dan berkreasi, bahkan terus berkembang dan membentuk dirinya sendiri melalui pengalaman dan pembelajaran sepanjang hidup.
Teks tersebut merupakan kutipan dari sebuah novel berjudul "Gerhana Di Semeru" karya Agung Webe, yang diterbitkan pada tahun 2025. Novel ini mengisahkan jatuh-bangunnya Kerajaan Majapahit dan kemunculan Kerajaan Demak, serta dampaknya terhadap tokoh-tokoh seperti Pradipta Wisesa, Nyai Rarasati, dan Syekh Malik al-Faruqi. Cerita ini mengeksplorasi konflik internal dan eksternal, pencarian kebenaran pribadi, serta peran sejarah dan identitas di tengah perubahan zaman. Selain narasi fiksi, teks juga mencakup pasal-pasal tentang pelanggaran hak cipta yang memberikan konteks hukum terkait publikasi karya. Secara keseluruhan, sumber ini memadukan cerita sejarah fiksi dengan tema filosofis tentang warisan, perubahan, dan penemuan jati diri.
Dokumen ini berisi kutipan dari novel spiritual kontemporer berjudul "Dewa Ruci" karya Agung Webe, yang menyajikan ulang kisah wayang Dewa Ruci ke dalam narasi modern. Novel ini bertujuan untuk membantu pembaca memahami konsep filosofis Jawa seperti 'Sangkan Paraning Dumadi' melalui cerita perjalanan batin dan cinta. Bagian yang diberikan menjelaskan dialog antara Bima dan Dewa Ruci, di mana Bima diajarkan tentang hakikat air suci yang tidak berwujud, kesatuan diri dengan alam semesta, dan pemahaman unsur-unsur kehidupan seperti kesadaran, ingatan, perasaan, dan pikiran. Kutipan ini juga membahas tentang keterhubungan jagat melalui perasaan (Ahangkara) serta berbagai jalan kehidupan yang berbeda menuju pemahaman kebenaran, menyoroti bahwa kematian bukanlah akhir dari perjalanan kesadaran, dan menekankan pentingnya hidup di saat ini sebagai "kasunyatan" sejati.
Aku tidak datang untukmenumbangkan warisan; aku datang untuk menelisik dari poros lain. Ihya’berdiri di tanah wahyu dan tradisi; Laku Jiwo berdiri di tanahpengalaman langsung—hening, pulih, sadar. Maka, yang kutawarkan bukan bantahanmarah, melainkan pemetaan jarak: di mana kita sejalan, di mana kitamemilih jalan lain.
Sebagai penulis sastra, saya(agung webe) sering ditantang: “Buat karya sastra yang mirip Quran! Ribuansastrawan dikumpulkan tidak akan ada yang bisa menghasilkan karya sepertiQuran! Karena Quran adalah karya Tuhan, bukan karya manusia!”
Kalimat semacam itu sering kitadengar di forum keagamaan, khutbah, bahkan media sosial. Ia diulang-ulanghingga menjadi kebenaran yang seolah tak terbantahkan: tidak ada yang bisamenandingi Alquran.
Tapi benarkah demikian? Ataujangan-jangan klaim itu lebih banyak berdiri di atas iman dan otoritas sosial,bukan pada kenyataan teknis?
Mari mulai dari hal palingdasar: bahasa.
Alquran disusun dalam bahasaArab klasik dengan gaya unik—penuh rima, repetisi, irama, dan metafora. Padaabad ke-7, ketika tradisi syair Arab hanya mengenal pola-pola tertentu,kehadiran Alquran jelas mengejutkan. Tak heran bila masyarakat kala itu menyebutnyaluar biasa, bahkan mustahil ditiru.
Tapi konteks itu penting: diabad ke-7.
Apakah aku bahagia?
Itu pertanyaan yang tidak mudah. Seringkali orang menanyakannya dengan ringan, seolah kebahagiaan adalah sesuatu yang bisa dipastikan hanya dengan satu kata: ya atau tidak. Tapi bagiku, itu jauh lebih rumit.
Aku tidak sedang mencari kebahagiaan. Aku sedang mencari kedamaian.
Banyak orang mengira keduanya sama, padahal tidak selalu demikian. Kebahagiaan datang dan pergi. Ia bergantung pada begitu banyak hal: pada suasana, pada orang lain, pada pencapaian, pada hasil yang sering kali berada di luar kendali kita. Saat kita merasa bahagia, itu sering kali disertai ketakutan bahwa semua itu bisa hilang kapan saja. Dan ketika itu terjadi, yang tersisa hanya kekecewaan.
Kedengarannya ironis, bahkanprovokatif. Tapi sebenarnya maksudnya tidak sesederhana itu. “Tidak beragama”di sini bukan berarti hidup sembarangan, tidak bermoral, atau bebas tanpa arah.Sebaliknya, bagi saya, tidak beragama berarti tidak terikat secaraformal dengan lembaga agama manapun, namun tetap memilih hidup dengan integritas,tanggung jawab, dan kesadaran penuh sebagai manusia.
Ketika saya benar-benarbelajar—membaca teks suci, menelusuri sejarah, mengkaji tafsir—saya menemukanbahwa agama tidak sesederhana slogan yang sering kita dengar. Ada ajarantentang cinta, tapi ada pula cerita tentang kekerasan. Ada janji keadilan, tapiada pula praktik yang melestarikan ketidakadilan.
Semakin saya mendalami, semakinsaya sadar bahwa beragama dalam bentuk institusional sering kali berbeda jauhdari pesan moral yang sesungguhnya. Dan pada titik itu, saya memilih untuk tidakberagama—bukan karena menolak nilai kebaikan, tetapi justru karena inginmerawat nilai itu tanpa harus terikat label dan institusi.
Menjelaskan otak, pikiran dan kesadaran.
PENJELASAN AWAL – VERSI AUDIOBOOK
Dalam versi ini, saya menghadirkan buku QUR’AN:Narasi, Kode, dan Kekuasaan dalam format audiobook bahasa Indonesia—agar kamu bisa mendengarkannya sambil berkendara, duduk santai, atau sekadar menikmati secangkir teh tanpa harus membuka halaman demi halaman.
Versi audio book ini akan saya baca sebagai teks dari naskah aslinya berbahasa Inggris saya terjemahkan dan saya ubah formatnya menjadi audio book ini.