Aku adalah anjing kurap, karena itu aku membunuh Munir
Sebuah monolog pengakuan diri seorang pembunuh Munir yang merencanakan sejumlah siasat dan skenario pembunuhan Munir. Dengan menggali sejumlah data, penelusuran logika, dan percakapan dari proses pengadilan, cerpen karya Seno Gumira Ajidarma ini menyusun kronologi peristiwa pembunuhan aktivis HAM Munir. Cerpen dimuat di Kompas, Minggu, 29 Desember 2013. Monolog dibawakan oleh aktor Luqman Dardiri.
Produksi: Museum HAM Omah Munir dan Kios Ojo Keos
Penanggung jawab produksi: Ali Nur Sahid
Penata musik: Reza Ryan
Mixing dan mastering: Danang Joedodarmo
Desain: Marsetio Hariadi
"Di masa kesederhanaan diabaikan
Kau membuktikan kekuatannya yang elegan
Di masa para pengecut berlindung pada arogansi kekuasaan
Kau tampil hampir sendirian melawan kelaliman..."
TESTAMEN MUNIR Episode 16 menampilkan puisi karya KH. Ahmad Mustofa Bisri atau yang lebih dikenal dengan Gus Mus (budayawan, pengasuh Pesantren Roudlatuth Tholibin).  Puisi yang berjudul "Munir" menjadi pembuka dalam kumpulan obituari sahabat-sahabat Alm. Munir dalam buku 'Munir Sebuah Kitab Melawan Lupa' yang diterbitkan oleh Mizan Pustaka (2004).  Ditulis oleh Gus Mus pada Ramadan 1425/Oktober 2004,  puisi ini ialah karya, sekaligus pergerakan sunyi Gus Mus untuk mengenang Munir sebagai sosok pejuang hak asasi manusia dan kemanusiaan.
Memperingati #16TahunPembunuhanMunir puisi Gus Mus yang berjudul "Munir" akan dibacakan oleh Saras Dewi (dosen filsafat Universitas Indonesia).
“Kiprah Munir dalam kerja hak asasinya bukanlah kiprah yang anasionalistik. Dengan caranya sendiri, Munir mencintai negeri ini, memperjuangkan demokrasi dan hak asasi manusia. Buat saya tak ada yang lebih nasionalistik ketimbang kesadaran bahwa demokrasi dan hak asasi manusia mesti ditegakkan dengan segala cara, berapapun ongkosnya, agar harkat dan martabat manusia (human dignity) tetap terjaga. Ketika orang seperti Munir tak terlalu galau dengan nasionalitas, ketika yang terpenting adalah manusia-human beings ketika itulah dia sampai pada puncak nasionalisme. Kesadaran inilah yang membuat Munir hadir di tengah kita sebagai ‘a true human rights defender’.”
Testamen Munir Episode 14 menampilkan obituari karya Todung Mulya Lubis (Duta Besar RI untuk Norwegia Merangkap Islandia) dengan judul “Munir: A True Human Rights Defender”. Menceritakan persinggungan antara Todung Mulya Lubis dengan Munir semasa hidup. Keduanya pernah terlibat dalam Komisi Penyelidik Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Timor Timur (KPP HAM Timtim). Baginya, Munir merupakan sosok pejuang HAM yang pemberani. Munir tidak anti militer, seperti kata orang yang menuduhnya demikian. Justru, Munirlah yang memperjuangkan reformasi militer. “Militer, bagaimanapun, harus tunduk pada supremasi sipil. Penguatan supremasi sipil ini hanya bisa dicapai dengan secara tajam dan kritis terus menerus mempertanyakan bahaya militer dalam demokrasi dan hak asasi manusia…” tulis Todung Mulya Lubis dalam obituarinya.
Memperingati #16TahunPembunuhanMunir, obituari karya Todung Mulya Lubis akan dibacakan oleh Gede Robi (musisi; vokalis & gitaris Navicula; aktivis)− menceritakan kesan Todung Mulya Lubis atas perjumpaannya dengan Alm. Munir semasa hidup.
Aku ini pernah diusir sama Abdullah Syafe'i," kata Cak Munir.
"Yang benar, Cak? Walah, sudah dimusuhi tentara, masih juga gak diterima GAM. Kapan, Cak?" tanya saya.
“Ya waktu itu. Sebelum Bondan masuk, kan aku masuk duluan," jawabnya.
Bondan yang dimaksud Cak Munir adalah Bondan Gunawan, Sekretaris Negara pada masa Gus Dur yang pada 16 Maret 2000…..
--
Cak Munir masuk ke sebuah wilayah untuk melakukan pendataan kasus-kasus kekerasan terhadap warga sipil. Kendati sebelum masuk kawasan itu dia sudah menjalin kontak dengan pentolan gerilyawan, tak urung rombongan Cak Munir sempat dicegat juga.
"Aku ini ditodong pakai AK. Moncongnya ditaruh di depan dadaku gini, lo….”
Testamen Munir episode 13 menampilkan obituari karya Dandhy Dwi Laksono (jurnalis dan aktivis) yang berjudul “Cak Munir di Antara GAM dan TNI”. Menceritakan persinggungan antara Dandhy Laksono dengan Munir semasa hidup. Keduanya pernah bertemu dan duduk semeja dalam momen evaluasi pelaksanaan darurat militer di Aceh. Momen itulah yang membuat Munir bercerita kepada Dandhy Laksono atas pengalamannya bertemu dengan Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Teungku Abdullah Syafe’i pada tahun 2000. Munir yang konsisten atas perjuangan kemanusiaan juga tidak pelit ilmu untuk membantu siapapun yang terlibat dalam aksi kemanusiaan, termasuk Dandhy pada saat itu. “Pada akhir buka puasa November 2003, Cak Munir juga memberikan kiat bagaimana cara mendapatkan data-data valid tentang kasus-kasus kekerasan terhadap kemanusiaan.” kenang Dandhy dalam obituarinya untuk Munir.
Memperingati #16TahunPembunuhanMunir, obituari karya Dandhy Dwi Laksono akan dibacakan oleh Farid Stevy (seniman musik), menceritakan pengalaman perjumpaan Dandhy Dwi Laksono dengan sosok Munir semasa hidup.
“Di mata saya, Munir adalah sahabat yang setia dan pemikir-pejuang yang tanpa pamrih dan selalu konsisten pada perjuangannya. Berbagai penghargaan internasional tidak mengubah tingkah laku kesehariannya yang bersahaja. Dalam berbagai tugas, seperti merancang Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertahanan Negara, RUU TNI, RUU Perbantuan TNI, rancangan berbagai Keppres yang terkait dengan pertahanan dan keamanan negara, Munir adalah seorang pemikir dan konseptor yang handal dan amat diandalkan oleh teman-teman yang sebagian besar adalah pengamat politik dan militer. Kemampuan akademiknya sangat tinggi, walaupun ia belum mengambil jenjang sarjana strata dua atau tiga.”
Testamen Munir episode 11 menampilkan obituari karya Ikrar Nusa Bhakti (Duta Besar RI untuk Tunisia) yang berjudul “Munir: Aktivis HAM yang Bersahaja”. Menceritakan persahabatan Ikrar Nusa Bhakti dengan Munir semasa hidup. Keduanya kerapkali bertemu dalam seminar-seminar maupun Focus Group Discussion (FGD) yang merupakan bagian dari Reformasi Sektor Pertahanan. Ikrar Nusa Bhakti mengenal baik sosok Munir semasa hidup. Baginya, Munir adalah pejuang hak asasi yang konsisten, rela berkorban dan membantu siapapun tanpa membedakan. “Bagi mereka yang tidak kenal Munir dari dekat, pasti mereka mendapat kesan bahwa orang ini hanya membantu mereka yang menjadi korban kekerasan atau orang hilang akibat aparat TNI atau Polri. Kesan itu jauh dari kenyataan yang sebenarnya…” tulis Ikrar Nusa Bhakti dalam obituarinya mengenang Munir.
Memperingati #16TahunPembunuhanMunir, obituari karya Ikrar Nusa Bhakti akan dibacakan oleh Bagus Dwi Danto (seniman musik) yang menceritakan kebersamaan Ikrar Nusa Bhakti dengan sosok Munir semasa hidup.
"Cak, aku ingin mengenang sampeyan sebagai pribadi yang religius. Ya, filsafat hidup dan pergulatan iman sampeyan. Cak, sampeyan meyakinidan pernah mengatakan kepadaku dan kepada Bung Ulil Abshar Abdalla bahwa Islam mesti menawarkan agama bagi orang yang tertindas; memberi jawaban terhadap problem sosial sehingga orang ditindas tidak begitu saja diam, tetapi memberi perlawanan. Sementara, elemen-elemen non tertindas, secara langsung memiliki kewajiban untuk membantu mereka dan menjamin tercapainya titik yang diinginkan untuk memberhentikan penindasan. Itu yang sampeyan sebut sebagai masyarakat Islam."
Testamen Munir episode 10 menampilkan obituari berjudul "Bayang-Bayang Sahabat" karya Sandyawan Sumardi (aktivis sosial) yang bercerita mengenai persahabatannya dengan Munir. Sandyawan Sumardi mengenal Munir ketika masuk di YLBHI akhir 1996. Selanjutnya, kerja-kerja advokasi HAM, seperti Tragedi 27 Juli dan Kasus Orang Hilang 1996, Tragedi Mei 1998 dan Semanggi 1999, Tragedi Aceh, dsb... keduanya saling bahu membahu untuk menyelesaikan problem hak-hak asasi manusia. "Selamat jalan, Cak Munir. Terima kasih sahabat.... sampeyan nyaris tidak pernah mabuk karena pujian yang semakin menjulang....." tulis Sandyawan Sumardi dalam obituarinya.
Memperingati #16TahunPembunuhanMunir, obituari karya Sandyawan Sumardi akan dibacakan oleh Iksan Skuter (seniman musik).
"Kawin itu bukan cita-cita, tapi sesuatu yang datang sendiri dan nggak bisa dihindari. Dia bagian tertua dari peradaban, ia bagian dari seni, dan biarlah dia datang menurut alurnya .... Iya ... sekolah itu sesuatu yang ada dalam perencanaan bagi wujud diri sebagai manusia dalam peradaban. Pendidikan adalah upaya membangun peradaban. Ia harus direncanakan dan diperjuangkan. Soal kawin lain lagi, dia ada dalam realitas yang berbeda. Dia datang ketika cinta dan kontrak untuk bersama ditemukan. Jadi, ia akan datang sendiri dan kita temukan di mana dunia peradaban yang terencana itu dijalankan."Lalu, Munir mengutip kata-kata Mahatma Gandhi tentang cinta:" ... kalau orang masih berhasil menulis lewat huruf hieroglif, maka cinta akan menulis dalam pilihan ruang kebenaran yang tidak terjamah...." Dalam alur nada Gibran, ia pun berkata: “Nah, jadi cinta dan perkawinan itu bukan soal fisik (jamah), tapi kebenaran dalam kejujuran menemukain kesesuaian. OK, jangan berdoa untuk dapat jodoh, tapi berdoalah untuk kebenaran. Karena, disitu cinta akan ditemukan.”
Testamen Munir ep. 9 menampilkan obituari karya Nono Anwar Makarim (penulis, praktisi hukum dan aktivis) yang berjudul “Munir, dari Dalam”. Obituari ini menceritakan kekaguman Nono Anwar Makarim kepada sosok Munir. Ia melihat Munir melalui perjumpaannya sebanyak tiga kali itu, sikap politik Munir yang tegas hingga pandangan Munir mengenai ‘cinta’. Baginya, Munir adalah sosok aktivis mondok di kantornya yang menolak jabatan resmi.
Obituari yang ditulis Nono Anwar Makarim dibacakan oleh Rara Sekar (penyanyi, musisi dan peneliti) yang akan menceritakan sisi keteladanan sosok Munir menurut Nono Anwar Makarim.
“Indonesia menyaksikan tak surut juga sepak terjang Munir memperjuangkan hak-hak orang teraniaya. Seolah seperti seorang pendekar silat Cina yang digdaya, dia ada di mana-mana, menangkisi setiap upaya menghantam warga yang tak punya banyak daya. Dan saya percaya, tak jarang dia justru yang harus jadi tameng, babak belur untuk semua yang diperjuangkannya. Hidup di bawah ancaman, waktu kerja yang tak mungkin punya pola, dan yang pasti mesti terus mempertahankan cara hidup yang amat sederhana.”
Testamen Munir Ep. 8 menampilkan obituari karya Haidar Bagir (Direktur Utama Kelompok Mizan) yang menceritakan tentang keteladanannya pada sosok Munir. Semasa hidup, Munir terus memperjuangkan hak-hak orang yang teraniaya lebih dari dirinya sendiri. Meninggalnya sosok Munir ialah duka atas keadilan di Indonesia. “Cermin Munir amat bening, sehingga semua bopeng wajah saya terlihat jelas didalamnya.” tulis Haidar Bagir.
Obituari karya Haidar Bagir akan dibacakan oleh Popo (seniman dan juru masak)− yang akan menceritakan nilai-nilai keteladanan atas sosok Munir menurut Haidar Bagir.
“Jika saya menyusun daftar orang yang paling berpengaruh dalam mewujudkan Indonesia yang demokratis, Munir akan termasuk dalam bagian atas daftar saya. Dia memiliki semua sifat yang seharusnya dimiliki oleh pejuang HAM: punya prinsip, tangguh, cerdas, jenaka, dan tak kenal takut. Dia tegak di hadapan penguasa, dia membuat mereka murka, dia menerima ancaman demi ancaman, dan dia tidak pernah menyerah.”
Testamen Munir Ep. 7 menampilkan obituari karya Sidney Jones (Director Institute for Policy Analysis of Conflict, Jakarta) yang menceritakan pengalamannya dengan sosok Munir semasa hidup. Munir adalah pejuang garis depan yang terus menyerukan reformasi militer dan perlindungan hak asasi manusia. “Munir adalah sahabat saya…. Saya tidak bisa membayangkan sebuah dunia tanpa dia….” tulis Sidney Jones.
Obituari karya Sidney Jones akan dibacakan oleh Irma Hidayana (aktivis dan peneliti kesehatan masyarakat)− yang akan menceritakan perjumpaan Sidney Jones dengan Munir.
“Munir bukan seorang pejabat. Ia tak pernah menyandang jabatan publik. Tapi, masyarakat luas sangat menghormatinya. Perasaan kehilangan masyarakat luas merupakan cermin dari sumbangan nyata yang telah ia berikan kepada masyarakat dan bangsanya.”
Testamen Munir Ep. 6 menampilkan obituari karya Faisal Basri (ekonom senior)− mengenai perjumpaannya dengan sosok Munir. 1 Januari 2001 merupakan suatu momen langka yang mendasari keduanya saling bertemu untuk pertama kali. Selanjutnya, Faisal Basri bercerita mengenai sikap politik Munir yang tegas, hubungan Munir dengan militer, yang semata-mata hanya digunakan Munir untuk menunjukkan fakta-fakta objektif atas pelanggaran hak-hak asasi manusia yang terjadi pada saat itu serta upaya menegakkan keadilan. “Namun, saya rasa sosok Munir bukanlah yang mengejar kesempurnaan. Ia adalah orang yang penyabar, yang mencerminkan penghargannya atas pentingnya proses setiap perubahan. Bukankah musuh dari demokrasi adalah ketaksabaran?” tulis Faisal Basri.
 
Obituari ini akan dibacakan oleh Manik Marganahendra (aktivis dan Ketua BEM UI 2019) yang akan bercerita mengenai pandangan Faisal Basri mengenai perjalanan karir sosok Munir.
“Munir memberi kita, kepada Indonesia, sebuah standar pencapaian dalam bekerja mempromosikan dan melindungi hak-hak asasi manusia. Besok, setiap kali orang membayangkan sosok ideal seorang human rights defender di Indonesia, orang akan selalu merujuk dan membandingkannya dengan Munir. Mulai hari ini, kita semua, setiap orang Indonesia, tak akan meminta kurang dari apa yang telah diberikan Munir.”
Testamen Munir Ep. 5 menampilkan obituari karya Rachland Nashidik (politisi dan mantan Direktur Program/Pejabat Direktur Eksekutif Imparsial)− yang bercerita mengenai persahabatannya dengan Munir. Rachland Nashidik bercerita mengenai pengalaman kesehariannya dengan Munir, “Munir adalah seorang rekan kerja, kawan seperjuangan, Direktur Eksekutif Imparsial, my boss.” Selanjutnya, “Munir adalah sahabat saya….” tulisnya dalam obituari itu.
Obituari episode 5 ini dibacakan oleh Nastasha Abigail (penyiar radio dan influencer) yang akan bercerita sosok Munir dari pandangan Rachland Nashidik.
“Menurut saya, para pahlawan abad ke-21 adalah individu-individu yang berhasil menemukan cara untuk menggerakkan perjuangan tanpa kekerasan melawan ketidakadilan dan penyalahgunaan kekuasaan. Contoh orang-orang ini adalah Gandhi, Martin Luther King, Nelson Mandela, dan Mahmoud Mohammad Taha. Nama-nama aktivis reformasi bisa ditambahkan dalam daftar ini. Tentunya nama Munir tidak boleh ditinggalkan.” Testamen Munir Ep. 4 menampilkan obituari karya Elizabeth Fuller Collins (peneliti, mantan Direktur Program Kajian Asia Tenggara dan Associate Professor pada Departement of Philosophy, Universitas Ohio)− yang bercerita mengenai perjuangan panjang Munir mewujudkan keadilan. Obituari ini dibacakan oleh Baskara Putra (penyanyi dan penulis lagu) yang akan bercerita sosok Munir dalam pandangan Elizabeth Fuller.
“Munir tidak pernah bicara soal feminisme, tetapi sikapnya yang jelas terhadap ketidakadilan dan penindasan, kerja panjangnya dengan para buruh, dan pemihakannya yang kuat kepada perempuan korban kekerasan politik membuat saya sulit untuk tidak mengatakan bahwa ia terus berusaha untuk mengikis nilai-nilai patriarki yang sebenarnya inheren di dalam diri semua orang, dan akan teruji jika orang itu memiliki kekuasaan, apapun bentuknya.”
Testamen Munir Ep. 3 menampilkan karya Maria Hartiningsih (wartawan senior Kompas) yang bercerita mengenai pengalamannya saat bekerja dengan Munir. Munir menjadi inspirasi Maria Hartiningsih dalam mengeksplorasi wilayah-wilayah persoalan yang penting untuk diungkapkan dan diwacanakan. Dibawakan oleh Azizah Hanum (presenter berita CNN Indonesia) yang akan bercerita mengenai sosok Munir di mata Maria Hartiningsih.
“Munir bukanlah mahapemberani. Ia punya rasa takut, dan mampu mengatasi perasaan itu dengan cerdik. Segala teror mental yang diarahkan kepadanya ia tangkis dengan prinsip sederhana yang ditanamkan oleh Suciwati, istrinya: resiko tertinggi bagi orang hidup adalah mati. Segalanya serba-tak pasti dalam hidup ini: satu-satunya yang pasti justru kematian.”
Testamen Munir Ep. 2 menampilkan karya dari Hamib Basyaib dalam buku "Munir: Sebuah Kitab Melawan Lupa" bercerita mengenai perjuangan Munir semasa hidupnya. Cholil Mahmud (aktivis dan vokalis band Efek Rumah Kaca) akan membacakan cerita tersebut dalam podcast episode kali ini.
"Aku tunggu Munir di arrival gate. Waktu itu aku membayangkan dia keluar ndorong trolly sambil cengar-cengir. Kalau nanti dia keluar, aku akan tanya kabarnya, sudah sarapan apa belum, kalau belum akan kuberikan tuna bread yang aku bawa untuk dia. Tunggu...tunggu...tunggu belum juga keluar penumpang dari Garuda. Aku pikir, mungkin masih jalan ke imigrasi, terus antre di imigrasi, terus ambil bagasi dan sebagainya. Tapi herannya, kenapa tak satupun penumpang Garuda keluar. Tapi aku sabar menunggu."
Testamen Munir Ep. 1 menampilkan tulisan Sri Rusminingtyas yang berjudul 'Terima Kasih Munir, Engkau Sudah Memberikan Lebih dari Cukup Kepada Bangsa' dibacakan oleh Gusti Arirang (vokalis Tashoora dan aktivis).
Orasi Munir di Aksi #MayDay
Mereka berebut kuasa
Mereka menenteng senjata
Mereka menembak rakyat
Tapi, kemudian sembunyi di balik ketiak kekuasaan
Apakah kita biarkan orang-orang pengecut itu tetap gagah?
Saya kira tidak
Mereka gagal untuk gagah
Mereka hanya di baju
Tapi, dalam tubuh mereka adalah suatu kehinaan
Sesuatu yang tidak bertanggungjawab yang akan mereka bayar sampai titik manapun dan kapanpun
#MelawanLupa #MerawatIngatan