Jeara menggeleng dengan lemah. Ia masih tak merasa yakin untuk menceritakan semua hal yang dialaminya itu pada temannya. Bahkan, pada Suga sekalipun. Sebisa mungkin, ia ingin menyelesaikan semuanya sendirian lebih dulu. Ia tak mau merepotkan lebih banyak orang lain lagi. Cukup yang kemarin itu saja. Tidak untuk yang berikutnya. Ia tidak mau membuat dirinya begitu bergantung pada bantuan orang lain. 
"Aku yakin orang yang mengirimkan uang itu sebenarnya tidak jauh-jauh dari orang-orang yang ada di sekitarmu, Jeara." ucap Raka setelah berpikir beberapa saat. 
"Bagaimana kalau misalnya yang ngirim itu sebenarnya si bekas guru baru itu? Dia kan psikopat. Selalu merasa benar dengan apapun yang dia lakukan. Bisa aja kan?" ujar Yusuf beropini. 
"Sinting banget sih emang kalau misal dugaanmu itu benar, Suf." sahut Venus. 
"Tapi, menurutku itu kayaknya nggak mungkin juga deh. Soalnya aku pernah sempat curiga juga waktu itu sama dia. Terus nggak nemuin celah sama sekali buat mastiin kalau itu beneran dari dia." kata Jeara setelah mendengarkan ucapan teman-temannya. 
"Emangnya kamu pernah ngapain aja sampai bisa seyakin itu, Je?" tanya Venus. 
"Aku kan sempat dibawa paksa ke rumahnya waktu itu. Terus dia ceritain semua---"
"Tunggu, sebenarnya dia siapanya kamu sih Je sampai selaknat itu nyelakain om Rion?" potong Yusuf yang diangguki Raka dan Venus. Mereka memang belum tahu sama sekali dengan apa hubungan Javin dan Jeara sebenarnya. 
"Waktu pertama kali ketemu sama dia, dia ngakunya adik dari ibuku. Terus dia nyinggung-nyinggung kenapa aku mau dekat sama Suga persis seperti apa yang dilakukan ibuku dahulu, katanya. Terus juga ia nyinggung bakal buat hidupku bakalan sama menderitanya seperti apa yang pernah dia rasakan sebelumnya. Selain itu, dia nggak nyinggung apa-apa lagi selain kenapa ayahku yang dikurung selama ini di rumahnya selama bertahun-tahun." jelas Jeara. 
"Orang itu benar-benar sudah nggak waras. Bisa-bisanya sekolah kita sempat memperkerjakan dia ngajar di sekolah ini." ucap Raka. 
"Untung semuanya cepat selesai."
"Berkat Suga kan yang nolongin kamu. Uh, harusnya kita yang jadi penolongmu yang pertama. Walau begitu, tetap aja sih, Suga lebih cepat tanggap menyelesaikan semua itu. Kalau kita-kita mungkin bakal dilanda kebingungan dulu sebelum ambil tindakan." kata Venus setengah sebal. 
"Jadi, kamu sudah tahu dong ibu kamu ada di mana sekarang, Je?" tanya Yusuf yang membuat suasana berubah menjadi agak menegangkan. Jeara tak langsung menjawab pun bereaksi. Ia masih memikirkan semua itu. Tak lama berselang, bel istirahat berakhir pun berbunyi.
_____________
Di batu lepas pantai tempat biasa Suga dan Jeara bertemu. Sekarang tak terasa sudah kembali sore. Hari ini, Suga sengaja membiarkan Jeara lebih banyak bicara dengan teman-temannya. Karena ia tidak mau terkesan seperti merebut Jeara dari mereka. Bagaimana pun juga, Suga masih orang baru yang muncul dalam kehidupan mereka. 
"Tadi di sekolah, sepertinya kamu banyak disuguhi pertanyaan ya sama teman-teman kamu?" tanya Suga sambil mengunyah roti yang habis di belinya dengan Jeara. 
"Iya, mereka menanyakan semuanya. Salahku juga sih, tidak menjadikan mereka sebagai tempatku untuk berbagi yang pertama. Padahal, harusnya apa-apa mereka yang mestinya lebih cepat tahu. Aku yang salah." sahut Jeara dengan wajah penuh kecewa. 
"Aku terluka mendengar ucapanmu barusan. kau seperti terdengar seolah menyesal menceritakan semuanya kepadaku." ucap Suga dengan murung. 
"Uh, maafkan aku Suga. Aku tidak bermaksud seperti itu. Jujur saja aku bingung sekarang. Satu sisi aku tak mau mengecewakan salah satu dari kalian dengan tidak berbagi. Tapi, satu sisi lainnya aku tak mau merepotkan kalian dengan cara memasukan kalian ke dalam masalahku. Maaf, gara-gara aku terus memikirkan hal itu, aku sampai melupakan perasaanmu ketika aku melontarkan kalimat seperti tadi. Aku sama sekali tidak berniat melukaimu perasaanmu Suga. Sungguh." kata Jeara dengan memelas. 
"Ya sudah tidak apa-apa
Show more...