Kita mengerti tentang keseimbangan. Bahkan kita mengalami sendiri dan tidak ada kecuali bagi setiap manusia. Saat sebagai bayi, seperti kita semua tahu, orang tua atau orang lain membimbing kita dalam latihan duduk atau berjalan. Di dalam pengalaman latihan itu roh keseimbangan kita sebagai anugerah Allah belum berfungsi sesungguhnya karena ia sangat bergantung pada sistem tubuh yang belum matang. Maka wajar kalau kondisi seperti ini dapat dikatakan sebagai keseimbangan yang rapuh. Suatu keseimbagan yang masih rapuh tidak boleh dipaksakan. Ia harus diberi ruang dan tempat untuk latihan secara terus-menerus dengan selalu menghargai proses pertumbuhan yang natural.
Karena setiap manusia dikaruniai roh keseimbangan yang dalam bahasa spiritualitas disebut keutamaan keseimbangan, setiap orang perlu menemukannya di dalam diri. Cara menemukan itu ialah dengan pengakuan secara tulus kelemahan atau kekurangan dan kelebihan atau kekuatan masing-masing. Setiap kali terjadi kekeliruan atau kesalahan orang mesti jelas menyadari bahwa di situ kekurangannya. Sebaliknya kalau datang keberhasilan atau pembaharuan orang jelas menyadarinya sebagai kekuatan atau kelebihannya. Dari pengakuan seperti ini, orang baru bisa mulai dengan latihan pembentukan keseimbangan dalam hidup pribadinya dan bersama dengan orang lain.
Keutamaan keseimbangan dapat dianggap sebagai strategi jalan tengah. Fungsinya sangat penting yaitu membuat kita untuk tidak bersikap ekstrem baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain. Konkretnya ialah dengan keseimbangan nilai-nilai dan keutamaan-keutamaan yang ada pada kita masing-masing dapat berfungsi dengan baik dan teratur. Contohnya, ketika Yesus berkunjung ke rumah Maria dan Marta, penyambutan terhadap Yesus menampilkan dua sikap yang bertentangan (Lukas 10, 38-42). Padahal keseimbangan sikap kita kepada Tuhan mesti tampak dalam bagaimana membuat kerja dan doa sebagai sarana untuk hidup di dalam rahmat Tuhan. Singkatnya, di dalam segala aspek kehidupan ini, kita mesti menggunakan keutamaan keseimbangan sebagai pengatur cara hidup dan tingkah laku kita supaya kenyamanan dan kedamaian tercipta di dalam kehidupan kita.
Pola hidup yang sehat dan positif sangat memerlukan keutamaan keseimbangan. Dari bagaimana orang mengatur waktu untuk kegiatan-kegiatan hidupnya, mestinya terlihat bahwa baik kegiatan jasmani, rohani, sosial dan politik mendapatkan porsi waktu atau perhatian yang seimbang. Aturan main yang dipakai ialah dengan memberlakukan skala prioritas bagi setiap kegiatan hidup. Atau lebih konkrit ialah setiap orang mesti memiliki standar kesadaran dan tingkat kemampuan diri untuk berada dan bertindak pada saat, tempat dan kepentingan yang sesungguhnya. Atau dalam bahasa teknis pendidikan, dikatakan bahwa setiap orang perlu hidup dengan hak dan kewajibannya yang berlaku.
Pelayanan yang menggembirakan itu bagaimana? Suatu pelayanan yang menggembirakan mesti berbuah dobel: baik pelayan maupun yang dilayani sama-sama merasa gembira. Pribadi atau kelompok yang melayani, tindakan melayani, motivasi pelayanan dan pihak yang dilayani merupakan aspek-aspek yang penting untuk diperhatikan kelayakannya sehingga suka cita yang tercipta mengarahkan semuanya untuk mengakui bahwa pelanyanan itu mulia, manusiawi dan menjawab kehendak Allah. Mungkin ilustrasi ini dapat berguna. Anto anak berusia 9 tahun, sebelum pergi mengikuti Misa hari Minggu, ibunya memberikan dia 5.000 rupiah. Ia pergi ke ayahnya lalu ia diberikan 2.000 rupiah. Kedua pemberian itu dimaksudkan untuk kolekte. Pada saat kantong kolekte sedang diedarkan, Anto ingat betul kotbah Pastor yang mengatakan bahwa kalau memberikan sesuatu harus ada rasa gembira di hati. Orang harus merasa gembira dengan sesuatu yang akan diberikan kepada orang lain dan perbuatan memberi harus dengan gembira pula. Pada waktu kantong kolekte sampai ke Anto ia mengambil 2.000 di saku kirinya dan memasukan ke kantong kolekte. Ketika ditanya oleh ibunya mengapa tidak memasukan 5.000 rupiah yang diberikan tadi, Anto dengan percaya diri berkata bahwa ia mengikuti saja kotbah Pastor. Ibunya bertanya: "Pastor katakan apa dalam kotbahnya?" Anto menjawab: "Kalau memberi harus ada rasa gembira. Maka saya merasa gembira untuk memberikan yang 2.000 rupiah, sedangkan yang 5.000 saya sama sekali tidak merasa gembira untuk diberikan."
Demikian, sering terjadi bahwa kita memberikan pelayanan atau bantuan berdasarkan kegembiraan kita yang sepihak. Sementara kita tidak peka akan kegembiraan atau kepuasan oran yang akan menerima pemberian kita. Hal ini sebenarnya masih harus diperbaiki. Karena suatu pemberian bantuan atau pelayanan yang menggembirakan mesti memperhitungkan bahwa saya yang memberi merasa gembira demikian juga orang yang menerima mendapatkan kegembiraan. Pelayanan yang menggembiarakan selalu mengambil contoh dari Yesus sendiri, karena bukan tindakan pelayanan sendiri yang hendak ditonjolkan, tetapi demi kemuliaan Allah dan kebaikan manusia. Dua alasan inilah yang membuat suatu pelayanan menjadi mulia, indah dan menggembirakan. Secara konkret, bagaimana dapat kita lakukan dengan baik? Ada beberapa syarat yang dapat ditunjukkan di sini.
Pelayanan itu harus diberikan dengan segera. “Janganlah engkau berkata kepada sesamamu: “pergilah dan kembalilah, besok akan kuberi,” sedangkan yang diminta ada padamu” (Amsal 3,28). Pelayanan atau bantuan kepada sesama hendaknya dilakukan untuk tidak diketahui orang lain. “Tetapi jika engkau memberi sedekah, janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu” (Mt 6,3). Pelayanan dan bantuan harus diberikan dengan gembira. “Hendaklah masing-masing memberikan menurut kerelaan hatinya, jangan dengan sedih hati atau karena paksaan, sebab Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita” (2Kor 9,7). Pelayanan dan memberikan bantuan hendaknya mempertahankan aspek hormat atau respek orang-orang miskin dan bukan dengan semangat membodohkan atau membuat mereka sangat bergantung. Sikap tidak sabar terhadap orang miskin justru mengurangi nilai kemurahan hati itu sendiri.
Pelayanan harus diberikan demi kasih kepada Allah. “Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa memberi kamu minum secangkir air oleh karena kamu adalah pengikut Kristus, ia tidak akan kehilangan upahnya” (Mk 9,41). Kita juga harus melayani dengan tidak menuntut balasan.
Ada seorang laki-laki dan seorang perempuan dewasa masuk ke sebuah restoran takeaway. Laki-laki itu memesan kepada pelayan supaya dibungkus untuk makan malam minggu berupa dua menu ayam goreng. Pada waktu menyerahkan makanan pesanan tersebut, gadis muda lumayan cantik di counter mungkin karena terpesona dengan ketampanan laki-laki tadi, membuat satu kesalahan fatal. Gadis itu dari pada memberikan dua bungkusan makanan yang dipesan, ia memberikan sebuah tas kulit berwarna hitam. Ternyata di dalam tas itu berisi uang hasil transaksi restoran itu sepanjang hari tadi. Jumlah uang dalam tas itu kira-kira sepuluh juta lebih.
Laki-laki dan perempuan tersebut segera menuju ke pantai untuk menikmati malam minggu bersama. Saat mulai membuka pesanan makanan yang telah mereka bawa dari restoran, keduanya sangat kaget. Bukan menu ayam goreng yang ditemukan tetapi sejumlah uang di dalam tas berwarna hitam yang mereka bawa. Mereka sepakat untuk melupakan saja kebersamaan selanjutnya malam itu dan segera menuju ke restoran. Sesampai di sana, mereka meminta untuk bertemu dengan manager lalu menyerahkan semua uang yang ada di dalam tas hitam. Manager restoran sangat terpesona dan gembira, katanya:
“Saudara orang baik, orang hebat di dunia. Sekarang ini dunia dan masyarakat kita sangat membutuhkan orang baik dan jujur seperti Anda.”
“Itu sudah menjadi komitmen saya,” jawab laki-laki itu, “kalau saya tahu apakah sesuatu itu salah atau benar, kalah atau menang, milik saya atau orang lain, saya harus berbuat sesuai dengan kenyataan.”
Manager restoran lalu meminta pegawainya untuk memanggil wartawan surat kabar harian supaya mengambil foto laki-laki dan perempuan tersebut, dan pada hari berikutnya agar menurunkan laporan tentang peristiwa dan sikap terpuji dari pasangan itu. Laki-laki itu diberi pengertian supaya ia membolehkan apa yang hendak dilakukan sehingga dapat menjadi informasi yang berguna dan contoh bagi publik. Tetapi laki-laki itu tidak ingin niat baik itu diwujudkan. Ia merapatkan mukanya ke telinga manager kemudian membisikkan sesuatu.
“Tolong jangan lakukan itu,”bisik laki-laki itu, “saya tidak rela kalau hal itu terjadi.”
“Memang ada apa?”
“Wanita yang bersama saya itu bukan isteri saya. Ia adalah isteri orang lain.”
Kita adalah orang-orang yang aneh. Kita menerima tanggung jawab-tanggung jawab untuk memperhatikan sesama kita. Tetapi kebanyakan perhatian itu hanya sebatas kebutuhan material. Sepertinya pribadi seseorang dan hidupnya hanya berurusan dengan materi dan jasmani. Asal ia diberi kemudahan dalam urusan makan minum, tinggal, bergaul, mengikuti zaman teknologi, belajar...cukup baginya untuk hidup.
Sama seperti seorang isteri merasa hidup perkawinan dengan suaminya sudah semakin dingin dan kaku; meskipun kebutuhan materi cukup lumayan tapi afeksi, kedekatan, komunikasi batin dan saling menguatkan secara rohani semakin tidak terungkapkan. Atau seperti anak-anak yang kebutuhan makan, minum, pakai, sekolah cukup terjamin, namun pertumbuhan mental, karakter dan kerohanian sangat tidak diperhatikan karena orang tuannya sangat sibuk dengan pekerjaan.
Kita sepertinya cepat bersedia dan dengan gembira memberi makan seorang anak miskin yang lapar, menyediakan pakaian bagi korban kebakaran atau bencana alam atau melakukan bakti sosial di panti asuhan. Tetapi apakah kita juga sama bersedia dan gembiranya menolong seorang sesama dalam kesulitan moral dan imannya? Seringkali tidak, karena yang itu-itu adalah masalah pribadi. Jangan sekali-kali masuk ke wilayah yang sangat pribadi.
Siapa yang berani mendekati dan menolong seorang suami yang terlanjur selingkuh dan menyengsarakan keluarganya sendiri? Jangankan Pastor, ketua lingkungan atau wilayah pun merasa sulit karena masalah pribadi seperti itu selalu tersimpan rapat, hanya baunya yang selalu tercium. Mengapa kita menjadi begitu ragu dan kaku untuk masalah-masalah yang pribadi seperti itu? Bukankah justeru integritas rohani sama pentingnya dengan kesejahteraan jasmani?
Maka Yesus mempertanyakan apa gunanya menyelamatkan atau membahagiakan hidup, jika hal itu justeru mengorbankan keselamatan jiwa! Mengapa kita begitu kaku dan segan untuk membantu orang-orang berdosa, yang keselamatan mereka dapat dicapai hanya dengan sedikit pertolongan yang kita berikan? Kita bukan para pengganggu ketika kita pergi melawat sesama yang meninggal dunia atau mengunjungi sesama yang sakit.
Mengapa kita harus merasa bersalah untuk membuat pendekatan baru bila suatu hubungan persahabatan retak, jika seorang sesama tidak berdaya karena dosa-dosanya, seorang saudara yang berjuang mati-matian dengan kecenderungan jahatnya, yang tak kuasa mengontrol kebiasaan buruknya, yang seantiasa melakukan korupsi? Kain menolak untuk menjadi penjaga saudaranya. Seorang Kristen tidak boleh menolak orang berdosa. Ia tidak boleh menghalangi kemurahan hati dan berbelas kasih sehingga menghadirkan kerahiman Tuhan sendiri.
Once I attended a seminar on the topic on “God speaks through all religions”. It was an international seminar which had participants from five continents of the world, but most of them were from Asia. The part of the seminar that impressed me was when we gathered for a group discussion and open forum discussions.
I brought home many affirmations, convictions, and discoveries from that seminar, and from time to time, they help me in many ways in my apostolate. However, there was one challenging question posed to us that was on my mind for a very long time - Does your religion have something to do with your bad temper, wrong doings, indiscipline, and improper attitude?
In one of my homilies, I asked the congregation to reflect on this question. Then I went further and told them that if our religion has done nothing to our bad temper, wrong doings, indiscipline, or improper attitude, then it has not done much to our souls.
Why is it that people who claim to love God continue to hurt other people? Why is it that there are people who have are extremely pious, but are proud, arrogant, and deceitful? Why is it that there are people who share daily scriptures, but continue to utter bad words, gossip with friends, and falsely accuse people?
I think the truth is this; before talking about your religion or your devotions, it is better talk first about purity and gentleness of your soul.
Kata orang bunga-bunga yang mekar-berkembang adalah senyuman Tuhan Allah. Bayangkan kalau kita melintasi jalan menuju Lembah Karmel yang melalui kawasan Kota Bunga di daerah Bogor, hati kita spontan berseri-seri. Setiap kali memandang aneka bunga di sebelah kiri dan kanan jalan, lalu terutama berada di dalam “Taman Bunga”, hati ini akan bertambah girangnya karena bunga-bunga yang dipandang seakan-akan serempak menyalami kita dengan senyuman. Itu adalah senyuman yang datang dari Tuhan Penciptanya. Bunga memang diciptakan Tuhan untuk menghadirkan senyuman kepada dunia, dan ia tersenyum tanpa henti.
Ada tiga tahap kehidupan sepotong kembang bunga yang dapat memberikan kita suatu pelajaran berharga. Sepotong kembang bunga memulai hidupnya sebagai sebuah kuncup kecil yang tertutup rapat. Ini menjadi seperti masa bayi dari sepotong kembang bunga. Ia tidak berwarna dan tidak memiliki atau menyebarkan keharuman. Sinar matahari akan perlahan-lahan membuka kuncup itu supaya menampakkan keindahannya. Ini sangat simbolik. Ada orang-orang di antara kita atau mungkin kita sendiri pemalu, segan, kaku, bingung dan penakut. Mereka tidak membuka diri untuk mengungkapkan talenta dan keindahannya. Kita mungkin dapat membantu untuk membuka diri mereka dengan sinar matahari sebuah senyuman, sinar matahari yang berupa perhatian yang ditunjukkan kepada mereka. Sehingga mereka dapat terbuka perlahan-lahan dan dapat mekar menjadi orang-orang yang membanggakan.
Pada saat kita merasa bahagia, gembira dan baik, kita adalah seperti sepotong kembang bunga dalam tahap kedua kehidupannya. Ia terbuka dan mekar sehingga keindahannya menghiasi segala sesuatu di sekitarnya. Maka kita selalu mengatakan bahwa orang muda pria dan wanita memang sedang mekar-berkembang. Lalu mereka sampai pada mekar-berkembang sepenuhnya dalam kepriaan dan kewanitaannya. Mereka tampak sangat menarik sehingga menggoda mata dan hati orang yang memandangnya. Senyuman dan tatapan mereka telah dijadikan Tuhan semenarik mungkin, apalagi godaan mereka pasti lebih dari itu.
Tahap terakhir dari kehidupan sepotong kembang bunga ialah ketika ia mulai menunduk dan kehilangan warnanya dan harumnya. Tetapi coba perhatikan lebih dekat: mungkin mangga atau jambu yang telah gugur bunganya ternyata mulai nampak pertumbuhan baru setelah mekar dan harumnya berlalu. Saat ini adalah waktunya bagi sepotong bunga untuk berbuah dan menghasilkan. Seorang manusia juga seperti itu. Mungkin kini ia mempunyai lipatan-lipatan kulit wajah dan tidak sibuk lagi dengan tampak yang trendi dan berpakaian rapi karena ia lebih sibuk dengan memelihara dan memperhatikan keluarganya.
After dinner, a mother and her daughter went to the kitchen to wash the dishes. While they were washing the dishes, the mother would tell tales to reduce the redundancy of the mundane work that they were doing. On the other hand, the father and their son were watching television in the living room, without talking to one another.
Suddenly, they heard a loud sound, as if a number of plates had fallen down and broken into pieces. This was followed by an awkward silence that filled the house, with the father and son looking at one another, seemingly at a loss of words. Suddenly, the son looked towards the father, saying, "I am sure that mom dropped those plates."
Curious to know the reason for his son's statement, he asked, "But how can you say that, you're not even inside the kitchen." To this, the boy replied, "Because I didn't hear mum screaming or accusing sister. If it was sister who dropped the plates, mom would definitely shout and give her a long sermon about doing her work properly!"
Parents often dole out unjust punishments to their children, an approach which appears to be rather repressive in words and action. This negative approach in education, unfortunately, can be found all over the world. It does make one ponder- what if a parent or teacher breaks the rules? Are their children or students allowed to reprimand and punish them?
Di dalam pengalaman orang-orang pada umumnya, prinsip tidak takut bersalah merupakan bagian dari pendidikan karakter, yang menekankan bahwa melalui perbuatan salah atau keliru seseorang belajar tentang memperbaiki diri dari waktu ke waktu, dan akhirnya mencapai kedewasaan. Seorang yang sudah dewasa dalam mental dan rohani, tidak ingin mengulangi lagi kesalahan yang sama dan ia berusaha untuk mencegah atau membuat antisipasi supaya tidak jatuh dalam kesalahan yang tidak perlu terjadi.
Sedang sikap seseorang yang takut berbuat salah merupakan ciri karakter manusia yang mencari aman dan ingin membuat dirinya selalu baik di mata orang lain. Karakter seperti ini menggambarkan ketidak tulusan dan kemunafikan. Ia menyangkal dirinya bahwa ia adalah manusia biasa yang bisa bersalah kapan dan di mana saja. Ia tentu tidak mengetahui apa-apa tentang memperbaiki diri dan mencapai kedewasaan. Kalau di dalam kitab suci Yahudi dan Kristen, orang yang berkarakter seperti ini adalah kaum Farisi dan pada ahli Taurat yang selalu dikecam oleh Yesus.
Anda berada pada posisi yang mana?
"What is the most common sin encountered by people all over the world?" This question was posed to me by a student of mine, who along with 19 other boys and girls were attending preparatory lessons to receive the sacrament of Confirmation. Almost every student voiced their opinion on the matter, where they spoke about how modern people of all gender, age, income level, societal status, educational qualifications, etcetera, are no exception to sin. Venial and grave sins do not choose some people and leave others. Every person has the freedom to side with the Satan, who causes man and woman into sin. A sinner by no means is in the midst of his or her neighbors, therefore this virus of sin can influence other people too. The aforementioned points were raised by the students, and I was intrigued by their thought process.
The students then came up with a statement as a conclusion of their discussion. They said that the most common sin in today's world is that people are not aware of the fact that they are in fact sinners! They keep committing sins because they understand that sin is something common, and everybody does it. They know that certain acts are sinful, but they are not able to prevent themselves in doing so because they feel that sin is common and enjoyable.
Once, while I was listening to the confession of a young woman, who seemed rather pious in the sense that she would frequent the sacrament of confession on a monthly basis. I asked her, “What should you say for the fact that you keep repeating the same sins, and confess them over and over again?” Her answer was not surprising to be because of the common perception about sin in people’s life. She simply said, “I just enjoy them!”
Oh God, help us sinners!
Terkadang suatu kehilangan yang dialami di dunia ini sebagai sesuatu yang biasa dan tidak perlu dipedulikan. Orang yang tidak peduli dengan layang-layang tentu merasa tidak ada pengaruh pada dirinya kalau layang-layang itu hilang, tapi bagi seorang anak pasti sangat mempengaruhi. Kehilangan adalah relatif: orang yang satu merasakannya, orang lain tidak; hari ini kehilangan, besok tidak; orang yang satu kehilangan sedikit, orang lain kehilangan banyak.
Marilah kita pikirkan tentang dosa. Apakah ada hubungan antara dosa dan kehilangan? Hubungannya ialah bahwa dosa sebagai satu pengalaman penderitaan sungguh menandakan satu kehilangan baik dari pihak manusia maupun Tuhan. Dalam hal ini, Tuhan mengetahui bahwa seorang atau lebih putera atau puteriNya hilang dari pelukan dan genggaman kasihNya. Kita manusia yang terlanjur berdosa mengalami kehilangan kontak, kehangatan, kekuatan dan belas kasih serta rahmat Tuhan.
Sungguh, dosa membuka lubang bagi masuknya manusia dalam kuasa iblis dan itu membuat kehilangan besar. Satu orang saja berdosa mengakibatkan kehilangan bagi Tuhan, para kudus, malaikat, sesamanya dan dirinya sendiri. Bukankah ini adalah tragedi? Maka dalam kaitan dengan dosa dan kehilangan, mestinya dipahami bahwa bukan suatu relativisme dalam memandang dosa, tetapi suatu pendirian teguh bahwa dosa adalah mutlak menghasilkan tragedi kehilangan.
TUHAN Yesus ingin supaya kita dapat menggunakan akal budi dan pengetahuan dengan sebaik mungkin dan khususnya tidak boleh meremehkan akal sehat, common sense. Satu aspek dalam akal sehat manusia ialah bahwa sebagai pemimpin berarti sebagai pelayan, seperti yang ditekankan oleh Yesus dalam pengajaranNya.
Pemimpin yang adalah pelayan tugasnya ialah menjamin bahwa orang-orang, sistem yang berlaku, lingkungan dan interaksi semua elemen di dalam wilayah kekuasaannya harus berproses secara baik dan normal. Singkatnya, akal sehat mesti menjamin bahwa para pemimpin atau pelaksana kebijakan bagi orang lain atau umum membuat semua proses berjalan lancar, teratur, benar dan mencapai tujuannya. Jika suatu jabatan, wewenang atau kepercayaan ternyata hanya menjadi hambatan dan kesulitan bagi suatu proses kehidupan, salah satu indikasinya ialah karena orang-orang yang terkait dengan kepemimpinan atau pelayanan itu merelatifkan bahkan meniadakan akal sehatnya.
Yesus adalah seorang pemimpin dan guru yang memakai akal sehat seratur persen. Makanya Ia mengangkat martabat manusia yang selalu menjadi korban penyelewengan dan keserakahan. Dan Ia juga membungkam mereka yang selalu menggunakan kecerdikan dan kelicikannya untuk menciptakan kekacauan dalam hidup bersama. Kita mesti memilih untuk mengikuti pemimpin dan guru kita: Yesus Kristus.
Anda mengalami cinta Tuhan yang dasyat saat ini?
Dalam masa Prapaskah ini pantaslah direnungkan tentang dosa dan rahmat Allah. Banyak yang bisa dibicarakan berkaitan dengan hubungan antara keduanya, terutama ketika janji Allah yang mahakuasa terwujud dalam peristiwa Allah menjadi manusia, yaitu Yesus Kristus. Dalam tradisi dan ajaran Gereja, ini dinamakan inkarnasi. Dosa dan rahmat atau sering juga dinamakan kutuk dan berkat usianya sama dengan karya penciptaan Allah. Pada saat Allah bertindak dalam penciptaan, rahmat ilahi terungkap dalam kuasa Allah yang membuat tidak ada menjadi ada. Lalu Allah merahmati segala sesuatu yang diciptakan itu dengan keadaan yang baik adanya, diberikan martabatnya.
Tetapi ketika manusia jatuh karena menyalahgunakan kebebasan dan kepercayaan yang diberikan Allah, dosa dan kutuk segera datang menimpah. Manusia menjadi jauh dari Allah. Cobaan, kesusahan, penderitaan dan kematian adalah akibat langsung dari pilihan manusia untuk melawan Allah. Sepanjang hidup ini dosa dan kutuk memang tidak pernah lepas dari hidup manusia. Alasan mendasarnya ialah karena manusia tidak kuat mempertahankan atau menjaga kepercayaan yang diberikan oleh Allah.
Pembaptisan yang setiap kali diterima oleh orang-orang yang masuk menjadi anggota Gereja, memang menghapuskan dosa-dosa asal. Tetapi dosa-dosa yang dilakukan setelah pembaptisan tak pernah berhenti. Komuni Suci yang disantap dalam setiap perayaan Ekaristi menjadikan setiap orang dikuduskan karena Yesus berkenan mendiami hati orang-orang yang menerimaNya. Namun setelah Ekaristi di Gereja, orang dengan muda kembali lagi ke dosa-dosa yang biasa dilakukan. Pengakuan Dosa yang dilakukan pasti menyucikan orang yang melakukannya setelah mendapatkan pengampunan. Namun orang terus saja melakukan dosa setelah melakukan Pengakuan Dosa di hadapan imam. Perkawinan memang menguduskan suami isteri dengan janji suci mereka untuk saling mencintai sampai mati. Namun hidup sebagai suami isteri dalam membangun keluarga tidak luput dari sikap hidup terkutuk karena masih-masing pihak tidak rela meninggalkan kepentingan dirinya.
Begitulah! Berkat dan kutuk silih berganti di dalam hidup yang nyata. Rahmat dan dosa itu bagaikan pasangan dengan masing-masing pihak selalu tidak akur. Masing-masing selalu berusaha merebuh hati manusia. Hari ini berkat atau rahmat itu diterima sehingga membuat hati dan pikiran menjadi damai, bersemangat dan ada suka cita. Tetapi besok dosa dan kutuk menggantikannya karena berkat sudah lenyap. Manusia memilih untuk berpihak pada dosa atau kejahatan.
Apakah WFH, Work From Home (bekerja dari rumah) mengasyikkan?
Karena kita menaati pemerintah dan terutama untuk mencegah semakin besar tingkat pencemaran wabah Covid-19, bekerja dari rumah menjadi pilihan utama bagi orang-orang yang selama ini bekerja di luar rumah mereka. Ibu rumah tangga merasakan perubahan tersendiri atas dirinya sendiri dan keluarganya.
Para pengusaha juga mengalami suatu perubahan dalam terkait dengan pekerjaan mereka. Mahasiswa, siswa dan murid mengalami suatu ritme yang belajar yang berbeda daripada biasanya. Para pengawai, karyawan dan anak buah juga melakukan banyak penyesuaian dengan pekerjaannya masing-masing yang dilakukan di rumah.
Kalau ada keluhan dan keberatan di sana-sini berkaitan dengan bekerja dari rumah, apakah nasihat yang terbaik untuk situasi? Ada banyak nasihat tentu saja.
Namun satu yang pasti ialah bahwa jangan main-main dengna Covid-19 ini, karena ia sedang bergiat untuk menyebarkan dirinya. Jadi tetaplah tinggal di rumah saja sampai virus ini benar-benar dikatakan telah pergi!
Harapan adalah jalan dan metode!
Saat masih bayi, orang tua Antok mengabadikan foto bayi Antok di album foto keluarga. Bayi itu nampak imut, montok dan bikin gemes setiap orang yang memandangnya. Saat Antok masih anak-anak, bapak ibunya sering menunjukkan foto bayinya kepada saudara dan teman-teman mainnya.
Ketika Antok remaja, dipasangnya foto bayinya di komputer milik mereka sekeluarga. Menjelang dewasa, teman-teman Antok mulai berkeluarga dan punya anak, tetapi Antok belum berkeluarga. Jadi, ketika ada reuni atau sekedar mampir di rumahnya, mereka melihat foto bayi di komputernya, mereka bertanya, "Anakmu ya ? Imut banget..."
Antok menjawab: "Bukan! Itu fotoku waktu bayi !!!"
Tahun berganti tahun, Antok mulai tua. Namun ia masih juga belum berkeluarga. Ketika ada reuni lagi, seorang tamu bertanya, "Lho, ini foto cucunya ya... wah lucu sekali..."
"Bukan!!! Ini fotoku waktu bayi!" Jawab Antok kesal!
Banyak harapan tidak sesuai dengan kenyataan. Mungkin Antok berharap, demikian juga keluarganya, supaya ketika ia besar ia dapat membangun keluarga seperti teman-temannya. Tetapi ternyata harapan itu tidak terwujudkan. Mungkin ketika kita melihat bayi mungil yang imut kita berpikir ia akan menjadi sukses dalam hidupnya kelak, namun ternyata ia berjuang mati-matian di tengah berbagai kesulitan hidupnya. Mungkin kita berharap banyak pada satu tokoh mudah, berbakat dan membawa banyak perubahan kalau nanti ia menjadi pemimpin, namun ternyata ia nanti menjadi pemimpin yang sangat dibenci orang.
Masih banyak contoh lain yang menjelaskan begitu kontrasnya harapan dan kenyataan. Bila terjadi bahwa kenyataan memang tidak sesuai dengan harapan, akibatnya ialah penyesalan, putus asa dan menyerah.
Pengharapan diartikan sebagai suatu tindakan dengan kerinduan atau hasrat yang kuat
atas sebuah kebaikan yang akan diperoleh atau dicapai. Orang tidak hanya mengetahui yang baik, tetapi juga harus tahu bahwa kebaikan itu mungkin untuk dicapai, meskipun ada kesulitan atau rintangan yang menghambatnya.
Hal ini menandakan begitu vitalnya pengharapan itu bagi manusia. Karena bukan saja manusia ingin mencapai sesuatu yang baik bagi dirinya dan lingkungannya, tetapi Tuhan yang menghendaki supaya ia bertumbuh menjadi yang terbaik. Bagi Tuhan yang terbaik untuk seorang manusia ciptaanNya ialah supaya ia selamat dan masuk surga.
Dari semua cobaan dan kesulitan yang kita alami di dalam hidup, mungkin yang paling berbahaya ialah keputusasaan. Terkadang pengalaman keputusasaan ini dinamakan malam yang gelap dalam jiwa kita. Bila mengalami keputusasaan kita seperti merasa bahwa semua jenis terang sirnah dan pergi, lalu kita sendiri sedang berdiri di dalam kegelapan. Barangkali dapat menjadi satu penghiburan kecil kalau masing-masing dari kita menyadari dan mengakui bahwa setiap orang mengalami keputusasaan pada waktu dan tempat tertentu di dalam hidup, tanpa kecuali!
Menurut sebuah cerita, keputusasaan itu merupakan alat yang paling mahal yang dimiliki oleh setan. Alasannya ialah bahwa ketika kita manusia jatuh dalam keadaan putus asa, kita menyerah, hilang harapan, pikiran dan perasaan beku, tidak lagi peduli dengan Tuhan atau agama atau menjadi orang yang baik. Kita ingin saja membuang segala sesuatu di luar sana lalu lari untuk menghindari keadaan atau pergi ke mana saja tak tahu tujuannya. Dalam keadaan jiwa seperti itu, kita dapat melakukan kejahatan dan dosa apa saja. Kita itu menjadi seperti tanah liat basah di tangan setan untuk dibuatkan apa saja sesuai dengan keinginannya.
Karena kita semua mempunyai dan mengalami masa-masa putus ada di dalam hidup yang nyata, mungkin baik juga kalau kita memiliki beberapa aturan yang dapat membimbing kita untuk dapat menghadapi saat-saat yang sulit itu.
Pertama, ingatlah selalu bahwa masa-masa putus asa itu biasanya singkat. Masa-masa itu datang dan pergi. Rahasianya ialah mengakui, menerima dan melewatinya saja. Hal itu seperti terlanjur berada di dalam terpaan gelombang laut yang besar. Hal itu seperti berada di dalam terowongan yang gelap di lereng gunung. Gelombang itu akan berhenti, selalu terjadi begitu. Di setiap terowongan pasti ada terang di ujungnya. Jadi pikirkan dan renungkan sejenak; jalankan saja kehidupan dan pekerjaan yang regular. Jika dapat, duduk sebentar dan bersantai sejenak.
Aturan utama yang pantas dipenuhi ketika berada dalam keadaan-keadaan seperti itu ialah: jangan pernah membuat suatu keputusan yang besar dan penting. JANGAN PERNAH! Dalam keadaan seperti itu kita biasanya tidak seimbang dan tidak dalam suasana yang baik untuk berpikir lurus, positif dan sehat ... jadi BERSABAR dulu!
Kedua, hal yang kemudian dilakukan ialah pergi dan berbicara dengan seseorang yang dipercayai. Kepadanya cukup dikatakan atau dibagikan apa yang ada di dalam pikiran. Cukup mengeluarkan masalah dari dalam diri, sering dapat menjadi suatu solusi. Hal itu seperti mengangkat atau memindahkan sebuah batu ceper dan seketika itu juga semua serangga atau binatang melata lainnya melarikan diri karena mereka tidak suka diterangi oleh sinar yang terang.
Who or what can replace a father in the family?
In a family, the husband is the head and the father. He has full responsibility over all members. He protects them and is a strong pillar for all members to lean on. He provides all benefits, both spiritual and materialistic, to the entire family. This is the basic and natural figure of a husband in the family.
However, what would it be like in a family where the husband doesn't take on the traditional roles? What if it is the wife who works and provides for the family? It could be because the husband has moved on to be with the Lord, or cause the couple are currently separated or divorced. This is the story of a wife who became the sole breadwinner of the family.
This family was hit with a sudden and heavy blow about ten years go when the husband was laid off from work. Although he had worked in the company for over 20 years, a sudden economic crisis forced it to shut shop, resulting in hundreds of loyal employees losing their job. Not just this family, but the national unemployment rate had risen to a staggering level, which was a matter of concern for the nation as a whole.
From that difficult moment on, the wife became the main breadwinner of the family. A high school teacher in a local public school, the loving and caring wife always supported her husband and family, and showered them with immense love, which was reciprocated by her husband and children. They strived to take care of her as well, and ensured that she'd always remain happy and healthy. From that moment onwards, their main aim was to ensure that the matriarch of the family feels loved, because she was sacrificing a lot for the betterment of her family. The woman too, was extremely proud and grateful to her family for the affection and love they showered her with.
Something a woman has to be given immense regard for is the fact that she is a mother. This lady, especially, would never say a word or perform a deed in a way that demeans her husband, either directly or indirectly. Despite being the sole breadwinner of the house, she ensured that her husband, the father, was always the head of the house, and had the final say in major familial decisions. The husband too, is aware of this, and strives to be a good husband and father to the family. This will probably go on until the Almighty God makes a rule dissolving all familial ties on this planet.
The real truth is that the existence of the husband as a fatherly figure and the head of the house cannot be replaced by anything in this world, be it material, worldly, or temporal gain.
Di tengah suasana yang mencemaskan dan memperihatinkan seperti saat ini kita berada dalam ancaman bahaya Covid-19, apakah perbuatan baik tetap penting bagi kita?
Apakah yang dimaksud dengan berbuat baik? Tuhan Yesus, di dalam banyak kesempatan seperti yang ditunjukkan dalam Kitab Suci, mendefinisikan tugasNya di dunia sebagai pelaksanaan kehendak Bapa yang mengutusNya. Maka dapat dimengerti bahwa perbuatan baik menurut Yesus, sang Guru ialah melakukan kehendak Allah. Ia melaksanakan kehendak Allah itu dalam bentuk yang sangat konkret yaitu melayani dan mengorbankan diri. PelayananNya diprioritaskan pada tugas pembebasan manusia dari penderitaan hidup dan dosa. Puncak dari tugasNya ialah Ia mengorbankan diriNya sendiri sebagai tebusan atas penderitaan dan dosa umat manusia di dunia. Singkatnya, perbuatan baik oleh Yesus ialah mati demi keselamatan umat manusia yang ditebusNya.
Bagi kita, apakah yang dimaksud dengan perbuatan baik itu? Kalau standar pemahamannya seperti perbuatan baik yang dilakukan oleh Yesus, jujur saja kita angkat tangan tanda menyerah. Sedikit sekali para pengikut Kristus yang sampai pada tingkat pengorbanan diri yang radikal demi keselamatan orang lain. Mereka mengungkapkan cinta sejati seperti Yesus Kristus karena mereka tahu dan yakin bahwa hanya dengan cara itu mereka menjadi bahagia. Memang benar, berbuat baik ialah sarana utama untuk kebahagiaan. Berbuat baik itu bukan tujuan, tetapi jalan untuk mencapai kebahagiaan dan keselamatan.
Kalau kita selalu bercermin, pasti kita tahu ada sesuatu di wajah yang perlu diperhatikan, apakah merawat atau memperbaikinya. Demikian juga kalau kita selalu memeriksa batin dan kesadaran kita, pasti kita tahu ada begitu banyak hal yang ternyata tidak sesuai dengan sikap dan tindakan Yesus. Kita akan menjadi malu karena dalam satu atau lebih cara kita tidak melaksanakan kehendak Allah. Perbuatan baik itu sepertinya menjadi sesuatu yang sangat mahal untuk diperoleh. Seharusnya tidak demikian, karena kita memang sudah dikaruniai kemampuan baik jasmani maupun rohani untuk melakukan kehendak Allah.
BETAH
Tiada tempat yang lebih baik di dunia ini selain rumah sendiri. No place like home! Demikian ungkapan yang sudah biasa dipakai dalam pergaulan kita. Ungkapan ini memiliki arti yang pasti diakui kita semua yaitu bahwa rasa betah yang paling dinikmati ialah ketika berada di rumah sendiri. Rasa betah bisa berarti menikmati hidup sesuai dengan kemampuan dan kehendak setiap orang. Semua situasi dan perbuatan berlangsung dalam prinsip “home is my kingdom”. Aturan yang berlaku selalu dalam batas toleransi dan pengertian antar anggota dalam semangat persaudaraan.
Selebriti Dian Sastrowardoyo pernah berkata dalam sebuah wawancara bahwa ia itu tipe orang rumahan. Alasannya sangat sederhana: karena ia suka suasana rumah sendiri yang ditata sesuai dengan selera sendiri. Di dalam rumah sendiri, ia mengidolakan kamarnya dan di dalam kamarnya ia bersatu dengan PC-nya. Itu versinya Dian. Apa versi Anda masing-masing? Rasa betah di rumah sendiri mesti dikuatkan dengan elemen-elemen yang mengikat rasa, pikiran dan pilihan kita sehingga rumah benar-benar sebuah home yang pasti terbaik dari semua tempat lain di dunia ini. Kita masing-masing punya sesuatu favorit di rumah kita. Orang yang perjaka atau perawan tua pun meski tinggal sendirian pasti menjadikan rumah dan keistimewaan di dalamnya sebagai favorit. Apalagi mereka yang berkeluarga dan berkomunitas, mestinya lebih menikmati home-nya rumah mereka.
Sebagai seorang biarawan dan imam Salesian, saya menganggap bahwa komunitas saya di Wisma Salesian Don Bosco, Sunter, Jakarta, adalah saksi utama rasa betah saya. Faktor paling pertama untuk menumbuhkan rasa betah atau at home ini adalah konsep yang terbentuk dalam pikiran bahwa saya secara pribadi yang harus menciptakan rasa betah. Segala usaha dilakukan sedemikian untuk dapat menjadi cocok dengan situasi dan siapa saja supaya ada rasa nyaman dan gembira. Segala sesuatu yang lain akan menyusul dengan sendirinya karena saya sendiri yang akan menghadapi dan mengurusinya.
Mahasiswa, siswa dan murid yang tamat tahun ini disebut generasi Karantinian!
Covid·l9 dan paru-paru
Sudah bukan rahasia lagi bahwa C.Ovid-19 ini menyerang paru-paru manusia. Target masuk virus ini adalah saluran pemafasan dengan melalui mulut, hidung dan mata. Dari saluran pernafasan itu, fokus yang dimakan dan dirusak ialah paru·paru. Seorang tenaga medis di sebuah rumah sakit di Jawa Tengah mengetahui dengan jelas bagaimana para penderita Covid-19 ini menanggung penderitaan paru-parunya. la mengamati bagalmana jaringan paru-paru para pasien mengalami kerusakan berat, sedang dan ringan. Memang banyak yang mengalaml kerusakan berat, akhirnya meninggal dunia. Namun ada juga pasien yang berhasil ditolong dan menjadi sembuh.
Di dalam refleksi petugas medis itu, mereka yang sembuh pasti tetap memiliki paru-paru yang sudah terluka. Mereka mengalami kegiatan pernafasan yang tidak normal lagi. Mungkin juga mereka per1u mendapatkan bantuan medis selanjutnya demi membuat pernafasan mereka tetap berfungsi meskipun terluka. Selanjutnya ia memperdalam refleksinya dengan mengatakan bahwa pada sisi negatifnya, Covid-19 menyerang paru·paru manusia, namun hikmah yang diambil dari peristlwa ini juga sangat penting. Menurutnya, dengan diterapkan lockdown atau social distancing, paru-paru dunia dan kehidupan mendapatkan penolongan yang sangat berartl.
Pembatasan kendaraan bermotor atau bermesin di darat, laut dan udara ikut menekan volume polusi udara. Aktivitas ekonomi dan sosial menjadi berkurang karena masyarakat mengisi harl·hari hidupnya di rumah masing-maslng. Kemacetan di jalan jalan utama dan kerumunan di tempat-tempat umum berkurang signifikan. Dengan demikian barang-barang bekas yang biasanya menjadi sampah juga berkurang volumenya. Jalan·Jalan sepi dari kendaraan, pusat-pusat perbelanjaan yang tertutup, rumah-rumah ibadah, sekolah-sekolah dan universitas yang ikut tenutup, membuat pemandangan yang membawa rasa lega. Di pagi dan sore hari burung burung ramai memenuhi taman, seakan-akan mau bersuka cita karena alam ini telah menunjukkan perubahannya.
Memang kita perlu melihat dari sudut pandang positlf dan negatif dengan adanya Covid-19 ini.