Empati bukan sekadar simpati yang lembut di bibir, tapi keberanian untuk hadir di ruang sakit orang lain tanpa menghakimi.
Ia adalah kemampuan untuk menahan lidah,
menundukkan ego, dan menatap manusia lain dengan kesadaran bahwa kita pun bisa berada di tempatnya.
Kunjungi Kami di :
Santri selalu diajarkan untuk menghormati kiainya bahkan lebih tinggi dari diri sendiri.
Namun kadang, dalam kekaguman yang mendalam itu, lahir pula fanatisme yang membutakan.
Kunjungi Kami di :
Menemukan teduh di tengah bising bukan berarti menjauh dari dunia. Ia bukan pelarian, tapi pemulihan. Sebab kadang, ketenangan bukan tentang di mana kita berada, melainkan tentang bagaimana kita hadir utuh, tanpa terburu-buru.
Kunjungi Kami di :
Etika yang lelah bukan berarti hilang.
Ia hanya terluka karena terus mencoba menuntun manusia di jalan yang ramai dengan kepentingan.
Ia terus berbisik lembut di tengah dunia yang berteriak keras tentang hasil, kuasa, dan citra.
Ia menuntut kebaikan di tengah orang-orang yang lebih memilih kemenangan.
Kunjungi Kami Di :
Ada saat di mana langkah kita terdengar begitu pelan… padahal di sekitar, dunia sedang ramai. Orang berbicara, tertawa, musik mengalun namun di dalam dada, ada ruang kosong yang tak tersentuh siapa pun.
Itulah kesunyian yang paling halus: sunyi di tengah keramaian.
Kunjungi Kami di :
Kehadiran Umar di ruang paripurna bukan hanya sebuah fantasi sejarah, melainkan cermin kolektif. Ia memaksa kita bertanya: apakah anggaran kita disusun untuk kesejahteraan rakyat atau untuk kemegahan kekuasaan? Apakah APBN adalah alat keadilan, atau sekadar daftar belanja politis?
Keteladanan Khadijah seharusnya menjadi napas bagi rumah tangga pejabat dan abdi negara di negeri ini. Kesederhanaan bukan tanda kelemahan, melainkan kekuatan moral.
Keteguhan mendampingi suami bukan berarti ikut menikmati fasilitas, tetapi ikut menjaga amanah. Sebab kekuasaan tanpa akhlak akan melahirkan keserakahan, dan keserakahan tanpa malu hanya akan menambah jarak antara pemimpin dan rakyatnya.
Kunjungi Kami di :
Jika kita menganggap bahwa sebagian kebijaksanaan politik lahir bukan semata dari podium megah atau mikrofon berlapis protokol, maka muktamar, dengan segala riuhnya, adalah ruang yang penuh cerita.
Bukan karena sorotan lampu dan spanduknya yang hijau menyala, tetapi karena di sanalah ambisi, doa, dan kepentingan berbaur menjadi satu tarian yang kadang indah, kadang getir.
Kunjungi Kami di :
Nama Hatta adalah air jernih yang mengingatkan kemerdekaan sejati bukan hanya soal mengusir penjajah, tetapi juga membebaskan diri dari kerakusan.
Kunjungi Kami di :
Mungkin di sinilah letak makna kehadiran Hoegeng dalam imajinasi kita. Ia bukan sekadar nostalgia masa lalu, melainkan cermin kerinduan kolektif: bangsa ini merindukan polisi yang berani menegakkan hukum sekaligus tulus melayani rakyat.
Di tengah morat-maritnya demokrasi, kita semakin sadar bahwa masa depan Polri bergantung bukan hanya pada strategi, melainkan pada jiwa yang tak tergadaikan.
Kunjungi Kami di :
Di negeri ini, anggaran negara kerap hadir seperti pesta kembang api: gemerlap, penuh janji, tapi cepat padam dan meninggalkan asap.
Setiap tahun, parlemen berkumpul, mengetuk palu, dan menyetujui triliunan rupiah pengeluaran, seolah keputusan itu adalah hadiah bagi rakyat. Padahal, di balik tabel dan proyeksi, yang sesungguhnya dibagi bukan hanya dana, melainkan juga beban.
Kunjungi Kami di :
Pada akhirnya, janji politik di negeri ini sering kali hanyalah down payment pada kredibilitas, bukan hutang yang harus dibayar. Kata “sedang diperjuangkan” menjadi mantra elastis untuk menunda tanggung jawab hingga lima tahun ke depan.
Kunjungi Kami di:
Para pendiri bangsa dulu mewariskan cita-cita yang sederhana tapi mulia: bahwa kemerdekaan harus bermuara pada keadilan sosial. Bung Karno pernah berkata, politik tidak boleh dipisahkan dari perut rakyat.
Bung Hatta menegaskan, ekonomi tidak boleh menjadi monopoli segelintir orang, tapi harus menjamin kesejahteraan bersama. Dan Tan Malaka pernah mengingatkan, tanpa perut yang kenyang, demokrasi hanya jadi bayangan semu.
Kunjungi Kami di :
Beberapa hari lalu, dunia politik Nepal membuat kejutan kecil tapi bergema besar: pemilihan Perdana Menteri interim dilakukan lewat aplikasi Discord. Ya, benar… aplikasi yang biasanya dipakai anak muda untuk mabar game, ngobrol di voice channel, atau debat kusir soal build karakter RPG, tiba-tiba jadi arena politik tingkat tinggi.
Sederhana, cepat, transparan, dan yang paling penting setara. Tidak ada podium megah, tidak ada protokol berlapis, hanya layar ponsel dan jempol yang menekan pilihan.
Kunjungi Kami di :
Di negeri ini, kekuasaan sering datang seperti hujan tropis: deras, tiba-tiba, dan sering meninggalkan genangan. Setiap pergantian rezim, kita disuguhi janji seolah-olah arah bangsa akan diubah total.
Padahal, di balik layar, struktur kuasa jarang benar-benar berganti. Elite lama berganti wajah, tapi jaring kepentingan tetap utuh. Luka kolektif rakyat pun tidak sembuh, hanya disapu dengan cat baru agar tampak seakan segar.
Kunjungi Kami di :
Ironi Demokrasi kita hari ini, Kita bawa harapan, mereka bawa algoritma.
Di atas kertas, pemilu adalah ajang kebebasan memilih. Tapi di dunia real, algoritma medsos, iklan politik berbayar, serta para buzzer bayangan ikut menentukan siapa yang terlihat mulia, siapa yang dianggap hina.
Kunjungi Kami di :
Di panggung politik, reshuffle sering dipentaskan seperti pertunjukan teater. Lampu sorot diarahkan ke menteri yang baru dilantik.
Kata-kata diucapkan penuh harapan, seolah-olah dengan mengganti pemain, cerita akan berubah. Padahal, penonton yang sudah lama duduk di kursi rakyat tahu: sering kali naskahnya tetap sama, hanya aktornya yang berganti kostum.
Kunjungi Kami di :
Gerhana bulan total sesungguhnya adalah simfoni kosmik, di mana bumi, bulan, dan matahari menari dalam keteraturan, sambil mengajarkan kita satu hal, bahwa dalam kesabaran, manusia menemukan makna terdalam untuk terus berjalan di tengah gelap, sampai fajar menyapa.
Kunjungi Kami di :
Dalam tradisi Islam, Imam Hasan al-Bashri pernah berpesan: “Ridha terhadap takdir Allah adalah puncak ketenangan hati.” Ada kesesuaian yang indah di sini, Stoikisme mengajarkan acceptance, sementara sufisme mengajarkan ridha. Keduanya menuntun manusia untuk berdamai dengan kenyataan tanpa kehilangan arah spiritual.
Kunjungi Kami di :
Dalam sejarah manusia, kesombongan selalu hadir dalam berbagai rupa. Kadang ia muncul di panggung politik, kadang dalam ilmu pengetahuan, kadang dalam relasi sehari-hari. Ia ibarat virus halus yang tak terlihat, namun perlahan melumpuhkan hati.
Lihatlah, dari kisah Fir’aun yang mengaku tuhan, hingga tragedi modern ketika manusia merasa teknologi dapat menaklukkan alam semesta. Semua ini adalah wajah dari satu hal: ego yang berkamuflase sebagai kebenaran.
Kunjungi Kami di :