Di era modern, kita terjebak dalam paradoks: kita sibuk sepanjang hari namun jarang merasa produktif. Kalender kita penuh dengan rapat, kotak masuk kita dibanjiri email, dan daftar tugas kita seakan tidak ada habisnya. Namun, di akhir hari, kita sering merasa tidak mencapai apa pun yang benar-benar penting. Kita telah salah mengartikan antara kesibukan dengan kemajuan, membiarkan diri kita tenggelam dalam kerumitan yang menguras energi dan menghalangi kita dari pekerjaan yang berdampak.
Kerumitan ini bukan sekadar gangguan; ia telah menjadi pembunuh senyap bagi kemampuan organisasi untuk berinovasi, beradaptasi, dan merespons perubahan. Ketika karyawan—seperti "Mike McCall" dalam skenario Lisa Bodell—menghabiskan hari mereka untuk memadamkan api birokrasi dan terjebak dalam tugas-tugas yang tidak perlu, mereka kehilangan kapasitas kognitif untuk berpikir strategis dan kreatif. Akibatnya, pekerjaan kehilangan maknanya, dan kesederhanaan beralih dari sekadar kemewahan menjadi keunggulan kompetitif yang paling tajam.
Akar dari kerumitan ini sering kali terletak pada bias manusiawi kita sendiri—rasa takut mengambil risiko, "pola pikir lebih banyak", dan proses yang dirancang untuk kenyamanan internal, bukan untuk pelanggan. Namun, di dunia yang kini didefinisikan oleh TUNA (Turbulence, Uncertainty, Novelty, dan Ambiguity), kerumitan adalah sebuah kemewahan yang tidak bisa lagi kita tanggung. Menghadapi gejolak dan ketidakpastian, kesederhanaan bukan lagi pilihan, melainkan mekanisme bertahan hidup yang krusial, satu-satunya jalan bagi organisasi untuk tetap lincah, inovatif, dan relevan.
Show more...