Membacakan cerita pendek Ahmad Tohari
Membaca cerpen A.A. Navis
Membaca Cerpen Idrus dalam Buku Dari Ave Maria Ke Jalan Lain Ke Roma
Dalam buku kedua Meditations, Marcus Aurelius membuka lembaran hari dengan kejujuran yang nyaris brutal. Ia tahu: hari ini ia akan bertemu dengan orang-orang yang menyebalkan, egois, suka pamer, tidak tahu diri. Dan ia tidak menolak kenyataan itu. Ia menerimanya. Inilah pelajaran tentang hidup bersama dunia yang tidak ideal—dan tetap menjadi pribadi yang tidak ikut tenggelam di dalamnya.
Buku ini adalah semacam "mantra pagi" seorang kaisar yang juga manusia—yang harus bangun, bernafas, menjalankan tanggung jawabnya, dan tetap menjaga ketenangan batinnya di tengah kekacauan luar. Marcus tidak sedang mengajari kita cara melarikan diri dari dunia, tapi justru cara berdiri tegak di dalamnya, tanpa kehilangan jati diri.
Ia mengingatkan kita bahwa orang-orang seperti itu berbuat demikian bukan karena jahat, tapi karena mereka belum benar-benar tahu apa itu kebaikan. Dan bahwa kita—yang tahu lebih baik—punya kewajiban untuk tidak ikut hanyut dalam keburukan mereka.
Book II adalah latihan mental untuk menjadi kuat tanpa menjadi keras, dan lembut tanpa menjadi lemah. Ia adalah pengingat bahwa kendali atas hidup kita bukan ditentukan oleh orang lain, tapi oleh pikiran dan sikap kita sendiri.
Selamat mendengarkan, dan semoga episode ini bisa jadi bahan bakar harianmu untuk tetap waras, bijak, dan manusiawi—meskipun dunia kadang tidak demikian.
Dalam episode ini, kita menyelami lembaran pertama dari Meditations, catatan batin seorang kaisar yang tidak hanya memerintah dunia, tetapi juga dirinya sendiri. Buku 1 bukan tentang kekuasaan atau strategi perang, melainkan tentang rasa syukur dan pengakuan yang dalam kepada orang-orang yang membentuk jiwanya.
Marcus Aurelius menuliskan satu per satu nama yang dikenalnya seperti ayah angkatnya yang mengajarkannya kelembutan dan keadilan; ibunya yang menunjukkan hidup sederhana dan kasih sayang; gurunya yang menanamkan nilai-nilai Stoik; hingga sahabat dan kerabat yang, lewat teladan maupun kesalahan, membantunya menyusun fondasi karakter.
Inilah meditasi tentang belajar menjadi manusia dari mereka yang hadir dalam kehidupan kita yang melukai maupun yang mencintai, yang menginspirasi maupun yang mengecewakan.
Melalui puisi Putra-putra Ibu Pertiwi, Mereka ingin menyampaikan bahwa tidak semua putra-putra Ibu Pertiwi lahir sebagai pahlawan dan pejuang, sebagian lagi terlahir menjadi bajingan-bajingan. Itu merupakan realitas yang ada pada bangsa Indonesia dan akan selalu ada. Para bajingan itu menjadi hama bagi para patriot dan pejuang.
Melalui Macapat Asmaradhana, Nofika ingin menyampaikan kalau mencari pasangan hidup, tidak sekadar melihat dari fisik ataupun harta, sebab kebahagiaan hidup tidak semata fisik dan harta. Kebahagiaan hidup diukur dari sifat seseorang bukan rupa ataupun harta. Untuk itu, penting mencari orang yang saling menghargai dan saling mempercayai.
Melalui puisi Aurelia Alisa Putri Larasati berjudul Senja, Ignes ingin menyampaikan bahwa senja yang selalu datang di iantara terangnya siang menuju gelap malam hadir membawa keseimbangan alam. Meskipun kehadirannya hanya sebentar saja, tapi senja mau mengalah menggantikan siang dan digantikan malam dalam sekejap. Karena ia tahu, bahwa dirinya tetap indah.
Melalui puisi W. S. Rendra berjudul Sajak Anak Muda, Dicky ingin menyampaikan kepada anak muda bahwa harus jadi anak muda yang berkarakter dan tidak mudah terbawa arus, anak muda juga harus punya visi serta mampu mengupayakan kenyamanan yang memiliki progres serta produktivitas.
Melalui cerpennya, Hana ingin menyampaikan kepada semuanya bahwa tidak semua hal bisa dipandang benar dan salah. Semuanya perlu memahami tujuan, alasan, dan konteks. Rumit? Tentu.
Melalui puisi W.S. Rendra berjudul Sajak Sebatang Lisong, Wisnu kembali membaca ulang sajak Rendra dan mengajak semuanya untuk merenungi relevansi Sajak Sebatang Lisong yang ditulis tahun 1977 dengan situasi saat ini.
Melalui puisi Aan Mansyur berjudul Menyebrang Jembatan, CM ingin menyampaikan kepada semuanya bahwa kita dan ibu selalu memiliki utang kisah yang tidak pernah tersampaikan dan bahasa tidak memiliki kata-kata yang tepat dan ibu selalu paham dan mengingat dan kecupannya selalu hangat.
Melalui puisinya berjudul Bangsa Mbalelo, Anjan ingin menyampaikan kepada semuanya atas keresahan akan fenomena terhadap bangsanya yang krisis jati diri dan terbawa arus budaya populer. Dari puisinya banyak menyajikan gambaran mengenai kesenjangan dan realita yang terjadi saat ini. Anjan juga menyampaikan untuk menjadi pribadi yang teguh terhadap pendiriannya.
Melalui puisi Helvy Tiana Rossa berjudul “Bagaimana Cara Mengucapkan Terima Kasih, Tata ingin menyampaikan bahwa di setiap perjalanan kita, selalu ada Tuhan yang menyertai. Tuhan selalu memberikan kita amunisi lewat beragam cara dan perantara, bahkan dengan yang tidak kita duga. Lalu bagaimana kita berterimakasih kepada Tuhan dengan segala kasih sayangNya?