Mendidik Anak agar Tidak Meremehkan Sesama ini merupakan bagian dari
kajian Islam ilmiah
Fiqih Pendidikan Anak yang disampaikan oleh
Ustadz Abdullah Zaen, M.A. Hafidzahullah. Kajian ini disampaikan pada Senin, 7 Rabiuts Tsani 1447 H / 29 September 2025 M.
Kajian Tentang Mendidik Anak agar Tidak Meremehkan Sesama
Kita kembali mengkaji fikih pendidikan anak. Kali ini memasuki serial nomor 218 dengan tema mendidik anak agar tidak merendahkan orang lain.
Tema ini penting dibahas karena kenyataannya tidak sedikit anak-anak yang mengalami perundungan. Mereka dibully, direndahkan, dan dihina oleh teman-temannya. Dampaknya cukup besar, bahkan membuat sebagian anak trauma untuk berangkat ke sekolah atau enggan bermain bersama teman-temannya di luar rumah. Akhirnya, mereka lebih banyak mengurung diri di rumah, bahkan hanya sibuk dengan gawai (HP).
Hal ini terjadi karena ketika berinteraksi dengan teman-teman, mereka sering dibully, direndahkan, dan dihina. Maka, ini menjadi pekerjaan rumah besar bagi kita semua. Bisa jadi anak kita berada dalam lingkungan tersebut, entah sebagai pihak yang dihina, ataupun justru yang menghina.
Karena itu, penting untuk membahas tema ini: bagaimana mendidik anak agar tidak merendahkan orang lain, dan apa saja hal-hal penting yang harus dilakukan agar mereka terdidik dengan baik.
Di hadapan kita ada tiga prinsip utama yang diajarkan dalam agama Islam. Prinsip ini insyaallah praktis, mudah dipraktikkan, dan relevan untuk diajarkan kepada anak-anak.
Kita semua sama di hadapan Allah
Prinsip pertama adalah menanamkan fondasi kesetaraan derajat di hadapan Allah. Kita semua sama di hadapan Allah, kecuali dalam hal ketakwaan. Orang Arab dengan non-Arab, yang berkulit putih dengan yang berkulit hitam, yang kaya dengan yang miskin, yang tubuhnya besar dengan yang kecil, yang keturunan bangsawan dengan yang biasa saja, semuanya sama. Yang membedakan hanyalah ketakwaan.
Hal ini penting dijelaskan kepada anak-anak karena sering kali bahan olok-olok atau perundungan berasal dari hal-hal tersebut: tubuh yang kecil, keadaan ekonomi yang miskin, atau karena orang tuanya bukan pejabat melainkan tukang sapu, tukang sayur, tukang bangunan, atau tukang rongsok. Maka anak-anak perlu dipahamkan bahwa ukuran mulia seseorang di sisi Allah adalah ketakwaannya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang bapak dan seorang ibu; kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurat [49]: 13)
Memberikan teladan langsung
Prinsip yang kedua adalah memberikan teladan langsung. Orang tua, baik ayah maupun ibu, harus menjadi contoh nyata agar anak-anak tidak terbiasa merendahkan orang lain.
Hal ini telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Beliau tidak hanya memerintahkan umatnya, tetapi juga mempraktikkan sikap rendah hati, tidak pernah merendahkan orang lain,