
Dalam isu tabarruk dan tawassul, umat sering terbelah antara dua kutub: yang menghalalkan semua bentuknya atas nama cinta kepada Nabi ﷺ, dan yang menolak mentah-mentah hingga menutup pintu syariat yang sah. Padahal, kebenaran bukanlah monopoli sentimen, melainkan milik dalil yang jelas dan warisan praktik generasi awal umat ini.
Berlebihan dalam perkara yang dibolehkan bisa menyeret kepada bid’ah, sementara mengharamkan apa yang diizinkan syariat adalah sikap ghuluw yang sama berbahayanya. Inilah mengapa membedakan antara tabarruk dan tawassul yang syar’i dan yang terlarang bukan sekadar kajian fikih, tapi juga penjagaan aqidah umat dari dua jurang ekstrem: syirik dan penolakan sunnah.